Minggu, 29 Juni 2014

Pantang menyerah atau pantang mengakui?

Gigih memperjuangkan sesuatu memang hal yang perlu dilakukan. Kehidupan memanglah keras, diperlukan perjuangan untuk dapat meraih apa yang diimpikan. Menyerah memang bukan pilihan si mental juara. Akan tetapi perlu juga untuk dikaji apa batasan dari konsep tersebut. Setiap konsep pasti memiliki batasan, tidak terkecuali pantang menyerah, karena seringkali disalah artikan oleh sebagaian besar orang.
Saya pasti akan mencari makanan saat lapar dan berusaha mendapatkannya. Begitu juga saya pasti akan mencari ketenangan dan hiburan saat stress dan berusaha mendapatkannya. Ini adalah contoh sederhana dari konsep pantang menyerah versi saya. Saya akan mencari dan berusaha.
Bagaimana dengan pantang mengakui?
Adalah keengganan pada diri untuk menerima hasil yang di terima. Kebanyakan orang menganggap konsep ini sama dengan pantang menyerah. Padahal berbeda, mengapa? Karena tidak selamanya apa yang kita perjuangkan itu sesuai dengan hasil yang diterima. Kita harus bersikap sportif dengan kenyataan. Ini yang menggelitik pikiran saya untuk mengupasnya.
Sebagai gambaran saya akan melukiskan sebuah kisah:
bermula dari kampus mereka berkenalan. awalnya komunikasi mereka hanya sebatas keperluan kuliah, tapi memang masalah hati itu memang unik. laki-laki itu bernama Dhana, ia menaruh hati pada Ela. Ia adalah wanita berkulit putih, berambut ikal, bertubuh tinggi dan memiliki senyum tipis, criteria yang sering membuat laki-laki terjerat hatinya.
Sudah lama Dhana menyembunyikan, mengagumi dan menaruh perasaannya di bawah sebongkah batu. Baginya ela adalah oase diantara luasnya padang pasir, penawar  dari cekikan haus yang mendera hari-hari nya. cinta membuat akalnya berkelana, mencari cara melakukan untuk memiliki sebanyak mungkin informasi, baginya itu adalah kunci harta karun. apa saja yang ia suka, jadwal perkuliahan sampai hal remeh temeh pun ia memulungnya. Ia memiliki ekspektasi yang tinggi.
Mereka semakin akrab, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hati. Ia berharap hati ela terbuka untuk menerima perasaannya. dengan kata-kata yang terbata ia berkata jujur. sejujur teriakan hatinya.
dengan berat hati ela menolaknya. Ia memberitahu kalau baru saja ia telah berkomitmen dengan pria lain. pria yang sudah lama dekat dengannya. baginya dhana adalah pribadi yang mengagumkan sebagai: sahabat, ya, tidak lebih.
Dengan hati yang murung dhana mencoba memanipulasi pikiran dengan berbagai hal. Ia tidak dapat menerima tamparan fakta segar itu.
Ia tetap menghubungi ela seperti hari-hari biasa, sampai pada suatu titik dimana pikiran kotor muncul, mengetuk dan merayu agar dhana berpikir tentang strategi apa yang dapat ia pakai untuk meretakkan hubungan ela dengan kekasihnya. Dia terus, terus, terus berusaha apapun caranya yang akan digunakan. Ia tidak peduli apakah ela dapat menerima usahanya atau tidak.
Apakah kisah diatas melukiskan konsep “Pantang menyerah”?
bagi sata tidak. menurut anda?
menolak kenyataan sering membuat manusia sulit membedakan baik dan benar. menggiring kepada kebingungan dan kemerosotan mental. Pantang menyerah itu BERUSAHA dan pantang mengakui juga BERUSAHA. itulah yang sering membuatnya samar.



Konsisten?

Maju menyerang, bertahan atau bahkan diam dengan apa yang terjadi. Kehidupan seperti cerita dengan alur uniknya. Satu masa ke masa berikutnya, suatu keadaan ke keadaan berikutnya serta apa yang dipelajari dari satu hal ke hal yang lain membuat manusia terlihat tidak konsisten.
Konsisten adalah tetap, ajek, serta selaras ucapan dengan perbuatan. Itulah makna dari apa yang sering dilontarkan kebanyakan orang.  Seakan konsisten menjadi sebuah keharusan. Saya sering bingung dengan apa yang mereka maksudkan dengan konsep konsisten. Apakah mereka paham atau tidak dengan makna konsisiten.
Konsep belajar mengharuskan kita mengkaji ulang pemahaman mengenai konsep konsisiten. Sering kali telinga tercekoki slogan “konsisten dong!”, saya menganggap ini omong kosong para pendogma yang menyesatkan tanpa bertanggung jawab. Pemahaman yang sering membuat manusia dengan mudahnya menghakimi suatu kepribadian.
Pikirkan..!
Bisa saja hari ini kita menyukai topik atau hal tertentu, bisa juga esok kita membencinya. Semua orang pasti melakukannya.
Lalu
apakah semua orang tidak konsisten?
Hidup itu dinamis, bergerak dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Belajar pun demikian, menuntut kita ke tingkat yang berbeda. Belajar bukan sebatas institusi pendidikan semata, belajar sesungguhnya adalah selama kita masih hidup di dunia. Nalar manusia membuat sesuatu terus berubah, tidak tetap pada suatu keadaan.
Tengok saja negara ini yang dulu berideologi nasionalis sosialis tapi sekarang berubah cenderung liberal, tengoklah china yang dulu membenci kapitalisme namun sekarang berekonomi kapitalistik. Apakah Indonesia dan china tidak konsisten?
Kedangkalan berpikir menyebabkan kekacauan saat menyimpulkan. Ketika kebanyakan mayoritas orang menggunakan istilah konsisten donk! Maka dengan mudah individu mengiyakan. Padahal akan lain cerita bila hal tersebut dikaji terlebih dahulu.

Menggunakan istilah konsisten dong! Untuk ditujukan kepada setiap individu saya pikir kurang pantas Karena, dapat mengesampingkan sisi dinamis manusia sebagai mahluk pembelajar.